Jumat, 19 Desember 2008

PANDANGAN ISLAM MENGENAI PROSESI TIJAK TANAH PADA SEJARAH ERAU

A.Sejarah Erau
Lahirnya sebuah tradisi masyarakat Kutai yang sering diucapkan dengan istilah Erau di Kutai Kartanegara, tidak lepas dari kejadian lahirnya Aji Batara Agung Dewa Sakti. Dari kejadian inilah proses Erau itu berkembang hingga saat ini, memang sejarah Erau hanyalah bersifat dongeng tetapi mengandung nilai dan fakta historis yang shahih.
Mengenai kejadian lahirnya kedua tokoh di atas tersebut, sebuah kitab yang ditulis dalam bentuk bahasa Arab Melayu mengisahkan tentang kehidupan raja-raja Kutai Kertanegara dan salah satunya adalah kisah lahirnya dan kehidupan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Namun Dalam pembahasan makalah ini hanyalah akan dibahas masalah kelahiran dan sebagian dari masa remajanya yang berkaitan dengan lahirnya tradisi Erau itu sendiri.
Erau pertama kali dilaksanakan pada upacara tijak tanah dan mandi ke tepian ketika Aji Batara Agung Dewa Sakti berusia 5 tahun. Setelah dewasa dan diangkat menjadi Raja Kutai Kartanegara yang pertama (1300-1325), juga diadakan upacara Erau. Sejak itulah Erau selalu diadakan setiap terjadi penggantian atau penobatan Raja-Raja Kutai Kartanegara.
Dalam perkembangannya, upacara Erau selain sebagai upacara penobatan Raja, juga untuk pemberian gelar dari Raja kepada tokoh atau pemuka masyarakat yang dianggap berjasa terhadap Kerajaan.
Adapun kronologis terjadinya Erau adalah sebagai berikut :
Di sebuah desa di Jahitan Layar, hiduplah seorang kepala desa beserta istrinya yang mana keduanya sudah sekian lama berumah tangga, namun belum pula mendapatkan keturunan. Pada suatu malam ketika mereka sedang tertidur dengan nyenyaknya, terdengar suara diluar rumah yang begitu gegap gempita hingga menyentakkan mereka dari tidur di peraduan. Mereka pun bangkit membuka pintu untuk melihat apa gerangan yang terjadi diluar rumah.
Nampaklah oleh mereka sebuah batu besar yang melayang dari udara menghempas ke tanah. Suasana malam yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang benderang seakan-akan bulan purnama sedang memancar.
Terkejut melihat batu dan alam yang terang benderang itu, Petinggi beserta isterinya segera masuk kembali kedalam rumah serta menguncinya dari dalam. Dari dalam rumah mereka mendengar suara yang menyerunya. "Sambut mati babu, tiada sambut mati mama!"
Sampai tiga kali suara ini didengar oleh Petinggi Jahitan Layar dan akhirnya dengan rasa cemas dijawabnya juga, "Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus!" "Sambut mati babu, tiada disambut mati mama." kembali suara itu terdengar. "Ulur mati lumus, tiada diulur mati lumus.'' jawab si Petinggi. Dan terdengarlah gelak ketawa dari luar rumah sambil berkata, "Barulah ada jawaban dari tutur kita". Mereka yang diluar rumah itu agaknya sangat gembira sekali, karena tutur katanya mendapatkan jawaban.
Petinggi Jahitan Layar pun tidak merasa takut lagi dan kemudian keluar rumah bersama isterinya mendatangi batu itu yang ternyata adalah sebuah raga mas. Raga mas itu lalu dibuka dan betapa terkejutnya Petinggi beserta isterinya tatkala melihat di dalamnya terdapat seorang bayi yang diselimuti dengan lampin berwama kuning. Tangannya sebelah memegang sebuah telur ayam, sedang tangan lainnya memegang keris dari emas, keris mana merupakan kalang kepalanya.
Pada saat itu menjelmalah tujuh orang Dewa yang telah menjatuhkan raga mas itu. Mereka mendekati Petinggi Jahitan Layar dengan muka yang gembira memberi salam dan salah seorang dari Dewa itu menyapa Petinggi, "Berterima kasihlah kepada Dewata, karena doamu dikabulkan untuk mendapatkan anak. Meskipun tidak melalui rahim isterimu. Bayi ini adalah turunan dewa-dewa dari khayangan, karena itu jangan sia-siakan untuk memeliharanya, tapi jangan dipelihara seperti anak manusia biasa."
Dewa juga berpesan agar bayi keturunan dewa ini jangan diletakkan sembarangan diatas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam bayi ini harus dipangku berganti-ganti oleh kaum kerabat Petinggi. "Bilamana engkau ingin memandikan anak ini, maka janganlah dengan air biasa, akan tetapi dengan air yang diberi bunga wangi."
"Dan bilamana anakmu sudah besar, janganlah ia menginjak tanah, setelah diadakan erau (pesta), dimana pada waktu itu kaki anakmu ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan pada kepala manusia yang sudah mati. Selain itu kaki anakmu ini diinjakkan pula pada kepala kerbau hidup dan kepala kerbau mati."
"Demikian pula bilamana anak ini untuk pertama kalinya ingin mandi ke tepian, maka hendaklah engkau adakan terlebih dahulu upacara Erau (pesta) sebagaimana upacara pada tijak tanah."
Setelah pesan-pesan tersebut disampaikan oleh salah seorang Dewa itu maka ketujuh Dewa itu naik kembali ke langit. Petinggi dan isterinya dengan penuh rasa bahagia membawa bayi itu masuk ke rumahnya. Bayi ini bercahaya laksana bulan purnama, wajahnya indah tiada bandingnya, siapa memandang akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Akan tetapi isteri Petinggi susah hatinya, karena payudaranya tidak dapat meneteskan air susu. Apa yang bisa diharapkan lagi dari seorang perempuan yang sudah tua untuk bisa menyusui anaknya?
Akhimya Petinggi Jahitan Layar membakar dupa dan setanggi serta menghambur beras kuning, sambil mereka memanjatkan do'a kepada para Dewa, agar memberikan kurnia kepada isteri Petinggi supaya payudaranya mengandung air susu yang harum baunya. Setelah selesai berdo'a, terdengarlah suara dari langit, "Hai Nyai Jahitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya."
Mendengar perintah ini, isteri Petinggi Jahitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan dan pada waktu sampai tiga kali dia berbuat demikian, tiba-tiba keluarlah dengan derasnya air susu dengan baunya yang sangat harum seperti bau ambar dan kesturi. Maka bayi itupun mulai dapat diberikan air susu dari payudara isteri Petinggi Jahitan Layar itu sendiri. Suami isteri itu sangat bahagia melihat bagaimana anaknya keturunan dari Dewa, mulai dapat menyusu.
Sesudah tiga hari tiga malam, tanggallah tali pusat dari bayi itu. Maka semua penduduk Jahitan Layar pun bergembira. Meriam "Sapu Jagat" ditembakkan sebanyak tujuh kali. Selama empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku silih berganti dan dipelihara dengan hati-hati dan secermat-cermatnya. Selama itu juga telor yang sudah menetas menjadi seekor ayam jago makin besar dengan suara kokoknya yang lantang.
Sesuai dengan petunjuk para Dewata, maka anak tersebut dinamakan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Pada waktu Batara Agung berumur lima tahun maka sukarlah dia ditahan untuk bermain-main didalam rumah saja. Hal ini dikarenakan keingin untuk bermain-main di halaman, di alam bebas dimana dia dapat berlari-larian, berkejar-kejaran dan mandi-mandi di tepian yang tak dapat ditahan.
Maka Petinggi Jahitan Layar pun mempersiapkan upacara tijak tanah (menginjak tanah) dan upacara erau mengantarkan sang anak mandi ke tepian untuk pertama kalinya. Empat puluh hari empat puluh malam diadakan pesta, di mana disediakan makanan dan minuman untuk penduduk. Gamelan Gajah Perwata ditabuh siang malam, membuat suasana bertambah meriah. Berbagai ragam permainan ketangkasan dipertunjukkan silih berganti.
Sesudah Erau dilaksanakan empat puluh hari empat puluh malam, maka bermacam binatang baik betina, maupun jantan disembelih. Disamping itu juga Petinggi Jahitan Layar tidak melupakan pesan dari Dewa yaitu agar membunuh beberapa orang, baik lelaki maupun perempuan untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti pada upacara "tijak tanah".
Kepala-kepala binatang dan manusia itu diselimuti dengan kain kuning. Aji Batara Agung Dewa Sakti diarak dan kemudian kakinya dipijakkan kepada kepala-kepala binatang dan manusia itu.
Kemudian Aji Batara Agung Dewa Sakti diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Ditepi sungai Aji Batara Agung Dewa Sakti dimandikan, dimana kakinya dipijakkan berturut-turut pada besi dan batu. Semua penduduk Jahitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda.
Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak membawa kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, dimana dia diberi pakaian kebesaran. Kemudian dia dibawa ke halaman kembali dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Tiba-tiba guntur berbunyi dengan dahsyatnya menggoncangkan bumi dan hujan panas pun turun merintik. Tetapi keadaaan demikian tidak berlangsung lama, karena kemudian cahaya cerah kembali datang menimpa alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi.
Penduduk Jahitan Layar kemudian membuka hamparan dan kasur agung, dimana Aji Batara Agung Dewa Sakti disuruh berbaring. Upacara selanjutnya ialah gigi Aji Batara Agung Dewa Sakti diasah kemudian disuruh makan sirih.
Sesudah upacara selesai, maka pesta pun dimulai dengan mengadakan makan dan minum kepada penduduk, bermacam-macam permainan dipertunjukkan, lelaki perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlaku selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya.
Bilamana selesai keramaian ini, maka segala bekas balai-balai yang digunakan untuk pesta ini, dibagi-bagikan oleh Petinggi Jahitan Layar kepada penduduk yang melarat. Demikian juga semua hiasan-hiasan rumah oleh Nyai Jahitan Layar dibagi-bagikan kepada rakyat.
Para undangan dari negeri-negeri dan dusun yang terdekat dengan selesainya pesta ini, semua pamit kepada Petinggi dan kepada Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka semua memuji-muji Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan kata-kata "Tiada siapapun yang dapat membandingkannya, baik mengenai rupanya maupun mengenai wibawanya. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan."
Selesai pesta ini, maka kehidupan di negeri Jahitan Layar berjalan seperti biasa kembali, masing-masing penduduk melaksanakan pekerjaan mencari nafkah sehari-hari dengan aman dan sentosa. Sementara itu Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa, makin gagah, tampan, berwibawa dan kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara.
B. Pandangan Islam Mengenai Sejarah Lahirnya Erau
Islam sangat menghargai dan menghormati akan adat istiadat yang berlaku di suatu masyarakat. Hal ini tercantum di dalam kaidah Ushul Fiqh yang menjelaskan tentang ketentuan-ketentuan adat, dalam Ushul Fiqh terdapat pembahasan masalah adat atau disebut pula dengan ’Urf, di mana dijelaskan bahwa adat bisa menjadi sebuah hukum apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan syariat Islam ( ﺍﻠﻌﺎﺪﺓ ﻤﺤﻜﻤﺔ ).
Mengenai sejarah lahirnya Erau, ada beberapa poin yang sangat menarik untuk dikaji menurut pandangan pemikiran atau menurut fiqh Islam. Salah satu poin tersebut adalah tentang prosesi Tijak Tanah dan mandi ke Tepian yang dilakukan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti ketika berusia 5 tahun. Di dalam prosesi Tijak Tanah dan diikuti dengan mandi ke Tepian, seseorang harus mengkorbankan beberapa orang untuk dijadikan korban, adapun obyek yang akan dijadikan korban adalah beberapa kepala manusia baik laki-laki maupun perempuan, dan juga beberapa kepala kepala kerbau jantan maupun bentina.
Menurut pandangan Islam hal ini sangat jelas bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam tentang larangan membunuh seseorang, terlebih membunuh itu untuk dijadikan sebuah korban pada sebuah tradisi ritual. Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang larangan membunuh, yaitu surat Al-Maa’idah : 32.
Artinya :
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya ………..”
Dari penjelasan ayat di atas jelaslah bahwa larangan membunuh seseorang tanpa alasan yang dapat diterima, maka dia jelaslah melakukan salah satu perbuatan dosa besar.
Menyimak dari cerita di atas, di mana korban pembunuhan yang akan dijadikan korban pada acara Tijak Tanah merelakan dirinya untuk dibunuh dan dijadikan korban. Di dalam hukum Islam, kerelaan korban untuk dibunuh bukan suatu penyebab kebolehan pembunuhan, karena ketidakrelaan korban itu bukan merupakan unsur tindak pidana pembunuhan, sekalipun ada prinsip lain bahwa korban atau keluarganya berhak memaafkan sanksi-sanksinya.
Menurut Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, kerelaan untuk dibunuh itu tidak menyebabkan kebolehan pembunuhan, sebab jiwa manusia tidak dapat dihilangkan, kecuali dengan nash syara’ yang tegas. Oleh karena itu, dalam kasus semacam ini, pembunuhan tetap dilarang.
Jauh sebelum adanya tradisi Erau itu sendiri, Islam sudah menyebar di muka bumi dengan membawa ajaran “Rahmatan Lil ‘alamiin”, di mana ajaran ini memberikan penjelasan tentang bagaimana seseorang harus bersikap baik kepada manusia, binatang maupun makhluk-makhluk lain ciptaan Allah SWT. Dalam suatu riwayat Nabi SAW. pernah menceritakan kepada sahabatnya tentang seorang lelaki yang mendapati anjing menjulurkan lidahnya ke tanah karena haus di padang pasir. Maka pergilah ia ke sebuah sumur lalu melepas terompahnya. Diisilah terompah itu dengan air dan diminumkannya kepada anjing. Nabi SAW. mengatakan : “Kalau saja anjing itu bukan salah satu umat, niscaya aku memerintahkan ( kalian ) untuk membunuhnya.” ( HR. Bukhari ).
Dari pengertian hadits di atas, maka seorang manusia terlebih-lebih seorang muslim bukan saja harus bersikap baik kepada manusia saja, akan tetapi sesama makhluk hidup yang lainnya.
Mengenai penyembelihan kerbau untuk dijadikan korban, Islam membolehkan, akan tetapi Islam membolehkan jika penyembelihan itu harus berdasarkan syariat Islam ( menyebut nama Allah ), di luar dari itu maka sembelihan itu akan menjadi sia-sia, karena tidak mendapatkan berkah dari Allah SWT, walaupun penyembelihan itu bermanfaat untuk masyarakat khalayak.
Mengenai hikmah penyebutan nama Allah saat penyembelihan, diantaranya adalah syariat ini merupakan kontra terhadap perbuatan kaum penyembah berhala dan masyarakat Jahiliyah yang menyebut tuhan-tuhan mereka atau dewa-dewa mereka saat penyembelihan.
Dalam penyembelihan kerbau yang dijadikan sebagai prosesi Tijak Tanah dalam sejarah Erau, banyak sekali dipengaruhi oleh budaya-budaya Hindu. Hal ini dikarenakan masyarakat Kutai pada saat itu belum mengenal akan Islam itu sendiri, Islam sendiri mulai masuk ke kerajaan Kutai Kartanegara pada masa kekuasaan Pangeran Aji Makota Mulia ( 1525 - 1600 ).
Mengenai hewan yang disembelih untuk dijadikan kurban pada acara hari-hari besar mereka, Imam Malik berpendapat, “Hukumnya makruh, karena kehati-hatiannya dan kalau-kalau termasuk penyembelihan yang dilakukan atas nama selain Allah, serta beliau tidak mengharamkannya karena makna kalimat “yang disembelih bukan atas nama Allah” baginya adalah yang mereka sembelih untuk tuhan-tuhan mereka, sebagai sarana taqarrub kepadanya dan tidak mereka makan.
Pada intinya bahwa penyembelihan korban-korban di atas dapat dikategorikan sebagai orang-orang Majusi. Hal ini berdasarkan pengamatan pada masa kini yang mengategorikan orang-orang Majusi dan para penyembah berhala yang lain, semisal Hindu, Budha dan sejenisnya, merupakan perbuatan yang dilarang oleh para ulama.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan Ahmad, Nasa’I dan Darimi, yang berkaitan dengan penyembelihan hewan yang mana kepalanya dijadikan korban. Adapun bunyi arti dari hadits tersebut adalah :
“Dari Abdullah ibnu ‘Amru ibnu Ash, bahwasanya Rasulullah SAW. pernah bersbada : “Barang siapa yang membunuh seekor burung kecil atau binatang yang lebih besar dari itu tanpa memenuhi haknya, maka Allah akan meminta pertanggungjawaban padanya, dengan alasan apa yang ia membunuhnya”. Tanya para Sahabat : “Wahai Rasulullah. apa haknya?”. Sabda beliau : “Haknya adalah menyembelih, kemudian memakannya dan tidak memotong kepalanya, kemudian melemparkannya.”
Mengenai apakah prosesi Tijak Tanah yang telah dilakukan oleh generasi pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara pada saat ini masih dilaksanakan oleh pemuka-pemuka kerajaan. Mengenai hal ini, Tijak Tanah tidak lagi diberlakukan. Karena sejak agama Islam masuk ke kerajaan Kutai Kartanegara, hal yang bersifat animisme dan dinamisme mulai ditinggalkan dan diganti dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam. Pada generasi berikutnya setelah raja Aji Batara Agung Dewa Sakti mangkat, prosesi Tijak Tanah biasanya dilakukan untuk mengangkat seorang raja baru, tetapi ketika Islam masuk seorang raja yang hendak naik tahta terlebih dahulu harus ditasbihkan oleh para ulama.
Atas petunjuk Sultan Kutai Kartanegara yang terakhir, Sultan A.M. Parikesit, maka Erau dapat dilaksanakan dengan kewajiban untuk mengerjakan beberapa upacara adat tertentu, tidak boleh mengerjakan upacara Tijak Kepala dan Pemberian Gelar, dan beberapa kegiatan yang diperbolehkan seperti upacara adat lain dari suku Dayak, kesenian dan olahraga/ketangkasan.
Adapun prosesi-prosesi adat Erau yang telah dilakukan oleh raja-raja Kutai Kartanegara sekarang adalah :
1. Menjamu Benua;
2. Menidurkan Ayu;
3. Kesenian dan Adat Kutai;
4. Menyisikan Lembu Suana dan Tambak Karang;
5. Beluluh;
6. Bekanjar dan Beganjur;
7. Seluang Mudik;
8. Belian, Bekenjong;
9. Dewa Memanah, Besaong Manok, Menjala;
10.Bepelas, Tepong Tawar;
11.Merebahkan Ayu, Beburay, dan Syukuran;
12.Mengulur Naga dan Belimbur;
13.Ziarah ke Makam Aji Imbut (pendiri kota Tenggarong);
14.Ziarah ke Kutai Lama
Mengenai urutan-urutan acara pokok Erau di atas, penulis tidak dapat menjelaskan, karena penulis hanya mengulas tentang permasalahan Tijak Tanah pada sejarah Erau tersebut.
Dari urutan di atas, maka prosesi Tijak Tanah tidak diberlakukan lagi, dan diganti dengan nuansa keislaman, sebagaimana yang tertulis di atas.
Adapun teori yang berkenaan dengan permasalahan ini adalah teori sinkritisme, yang mana teori ini menjelaskan perubahan tatanan kemasyarakatan adat karena dipengaruhi dengan masuknya agama Islam. Perubahan ini bersifat unik oleh karena ternyata perubahan yang ditimbulkannya menjangkau berbagai hal hingga di luar konteks perilaku agama, seperti kepercayaan animisme dan dinamisme yang dipengaruhi oleh masyarakat Hindu India sebelum Islam masuk.
Mengenai keberlangsungan Erau saat ini, pemerintah telah menetapkan bahwa Erau dijadikan sebagai acara festival tahunan, yang mana tidak lagi dikaitkan dengan seni budaya Keraton Kutai Kartanegara tetapi lebih bervariasi dengan berbagai penampilan ragam seni dan budaya yang ada serta hidup dan berkembang di seluruh wilayah Kabupaten Kutai.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an.
Bupati Kutai Kartanegara, Membangun Kembali Kebanggaan Budaya Keraton Kutai Kartanegara, Kutai Kartanegara : Lembaga Ilmu Pengetahuan, 2001.
Adham, D. Salasilah Kutai, Depdikbud proyek penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Sejarah, Jakarta, 1981.
Djazuli, H. A. Fiqh Jinayah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
Qaradhawi, Yusuf. Halal Haram Dalam Islam, Terjemah : Wahid Ahmadi, dkk, Solo : Era Intermedia, 2003.
Al-Baghawi, Al-Farra’. Terjemahan Misykaatul Mashaabih (Piala Lampu-lampu Penerang), Jilid. IV, Penerjemah : Yunus Ali Al-Muhdhar, Semarang : CV. Asy-Syifa’, 1994.
http//:www.kutaikartanegara.com/kesultanan/sejarah kutai.html.
http//:www.kutaikartanegara.com/kesultanan/mitologi.html.

Tidak ada komentar: